Thursday, September 18, 2008

Kodak M1033


sudah agak lama saya tidak menulis cerita tentang penggunaan suatu kamera.
terima kasih, seorang teman lama menyodorkan satu kamera untuk dicoba. Kamera poket Kodak m1033.

Pertama kali mengeluarkan kamera dari dalam kardusnya, saya cukup terkesima dengan tampilan kamera itu yang mungil, elegan, tapi memiliki layar LCD yang besar. Saya merasa ada satu kelas tertentu bagi kamera ini yang cukup mengangkat gengsi pemakainya, dengan badan kamera terbuat dari bahan metal yang mantap.

Saya tidak langsung menyalakan kamera itu, tapi mengisi ulang baterai kamera terlebih dahulu. Menarik juga, dalam kardus itu tersedia charger dengan colokan listrik berbentuk dua bulat ataupun tiga bulat. Maklum, kamera kodak m1033 ini 'kan dipasarkan di seluruh dunia, sedangkan colokan listrik di masing masing negara bentuknya berbeda beda. Ini hal kecil yang
biasanya diabaikan produsen kamera, tapi cukup merepotkan kita yang sering dolan ke negara tetangga. Syukurlah masalah ini sudah dipertimbangkan dengan baik oleh Kodak M1033. Tapi bukan itu saja yang membuat saya senang. Ternyata kamera ini bisa juga di charge menggunakan terminal USB. Jadi sekiranya kita kekurangan terminal listrik di rumah, bisa juga mengisi baterai melalui komputer maupun notebook kita, melalui colokan USB yang ada.
Setelah baterai penuh, barulah saya coba eksplorasi kamera Kodak M1033 tersebut.

Ketika kamera dinyalakan, kamera langsung membawa kita pada program "smart capture", dimana kamera bisa menerka, obyek apa yang akan kita foto, dan kamera mengambil keputusan, program apa yang harus diterapkan agar menghasilkan foto maksimal. Sangat mengagumkan. Terus terang, baru kali ini saya menemukan program seperti ini, dan diterapkan pada kodak m1033 ini.
Dalam prakteknya, saya coba memotret wajah istri saya, dan ternyata kamera "mengetahui" bahwa saya memotret wajah seseorang, sehingga kamera pun menerapkan "program portrait" pada setting nya.Kemudian tanpa mengubah setting yang ada, saya arahkan kamera pada pemandangan alam di sekitar saya. Dan "smart capture" itu mengetahui apa yang saya mau, dan "landscape mode" langsung dipilih oleh kamera untuk saya. Nyaman...Demikian juga ketika saya arahkan kamera pada perhiasan yang dikenakan di jari istri saya, kamera langsung memilih "macro mode", yang artinya kita tidak perlu banyak mengingat setting agar dihasilkan foto yang bagus. Smart Capture ini sangat cocok digunakan oleh orang yang benar benar tidak mau pusing sedikitpun akan setting kamera. Yang penting bisa dapat hasil foto bagus. Titik. Habis perkara.

Akhirnya saya coba arahkan kamera pada koran yang saya baca. Hebat! Kamera memilih "text mode", yang artinya kita siap untuk mereproduksi koran yang kita baca. Oh... andaikan foto text tersebut akhirnya bisa di robah menjadi text beneran, dan kemudian bisa kita sunting melalui word processor... alangkah sempurnanya...

Selain Smart Capture, ada pula program biasa, yang pada umumnya terdapat pula pada kamera lain, sehingga tidak akan saya bahas terlalu jauh di tulisan saya kali ini.

Tapi satu hal yang menarik, ketika kemarin bersama teman teman hunting foto rembulan, manakala tradisi makan kue bulan sesuai penanggalan china, dan bulan purnama tampil dengan eksotis....Teman teman semua memotret menggunakan kamera SLR yang serius, hanya saya yang menenteng kamera poket Kodak M1033. Akankah menghasilkan foto yang bagus? Anda yang akan menilainya!
Dengan total zoom 12x, cukuplah kiranya saya mendapat foto bulan dengan ukuran yang cukup besar. Sayang, kamera ini tidak menyediakan sistem pencahayaan manual, sehingga saya tidak leluasa memilih kecepatan dan diafragma. Idealnya, untuk memotret bulan, dengan iso 200, kita gunakan kecepatan 1/250detik, dan diafragma 8. Tapi saya tidak bisa memilih ini secara
manual. Maka saya coba "mengakali" atau "menipu" program kamera ini agar bekerja sesuai kehendak saya.
Ternyata setelah otak atik sekian lama, harapan yang saya idamkan itu tidak bisa tercapai, karena kamera cenderung membuat foto yang terang, dan bagus "di mata awam" secara umum. Padahal yang saya mau, foto bulan itu bukan hanya sekedar terang, tapi juga bercak bercak yang ada di bulan juga ikut terlihat. Ini tantangannya. Akhirnya saya tipu kamera, seolah olah sedang memotret model, sehingga didapat diafragma dan kecepatan yang saya inginkan. Tapi kamera inginnya menyalakan lampu kilat yang sebenarnya tidak saya butuhkan. Tapi tidak apa apa. Kemampuan lampu kilat toh hanya menerangi hingga jarak 5meter, tidak ada artinya dengan lokasi bulan yang sangat jauh. Yang penting, diafragma dan kecepatan yang saya mau bisa tercapai.Alhasil dapatlah foto bulan yang cantik...Agar tampil lebih cantik, saya ambil satu foto lagi menggunakan program "night scenery", kemudian foto bulan tadi saya gabungkan pada foto kedua.

Bagaimana komentar anda?

Sunday, March 11, 2007

Handphone berkamera Sony Ericsson K750i

Setelah diberitahu teman, bahwa fasilitas kamera di handphone SE K750i sudah bisa dipertanggungjawabkan, maka saya tergoda juga untuk memiliki handphone tersebut.

Ternyata benar juga. Mungkin ini handphone pertama pada zamannya (akhir tahun 2005) yang kamera nya bisa diandalkan. Gambarnya tajam, warna bagus, gradasi lumayan tidak jomplang. Tapi tetap tidak bisa mengalahkan kamera digital beneran, apalagi kamera digital kelas atas yang mahal.
Setidaknya untuk fasilitas tambahan pada sebuah handphone, sangat oke deh... jadi tertarik untuk membuat klub foto yang anggotanya khusus menggunakan handphone. Soalnya pasti nanti akan semakin banyak handphone yang fasilitas kameranya semakin baik. Jadi asyik...

Tidak seperti handphone lain, yang fokusnya mati, SE K750i ini bisa memilih fokus dengan otomatik. Fokus nya juga tidak lelet amat. Boleh dibilang oke lah, apalagi pada tahun 2005. Tapi ada kekurangnyamanan nya juga. Setelah mengambil satu gambar, kita tidak bisa langsung memotret lagi. Kita harus menekan tombol lain, baru memotret lagi. Untuk hasil, foto yang didapat saya coba cetak hingga ukuran 20x25cm. Ternyata memuaskan juga. Sekali lagi, jangan dibandingkan dengan kamera digital beneran, walaupun kamera digital itu kelas bawah.

Kesimpulan, untuk ambil gambar dikala darurat enggak bawa kamera beneran, SE K750i ini boleh juga lah. Sayang, untuk sebuah handphone, buku alamatnya terlalu sedikit, cuma bisa simpan 500 entri. Dan handphone ini cuma bisa menampilkan 11(+2)digit nomor telepon. Padahal nomor hp sekarang ini banyak yang terdiri dari 12(+2)digit, sehingga untuk nomor tersebut, angka terakhirnya tidak terlihat langsung.

Tuesday, March 6, 2007

Motret di laut pakai Olympus mju720












Bulan September 2006 yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Phuket di Thailand, yang terkenal dengan wisata bahari-nya. Dengan grasa grusu, saya cari pinjaman kamera yang tahan air biar bisa dipake nyemplung ke laut. Akhirnya dapat Olympus mju720 yang katanya tahan air sd 3meter, dan tahan jika dibanting dari ketinggian 1,5meter. Asyik...

Ketika pertama kali pegang mju720, kamera itu terasa sangat maskulin. Gagah deh. Bahannya metal, dengan sudut dan garis yang macho. Ketika kamera di-nyala-kan, LCD terlihat cerah, dan panduan panduan yang mudah dimengerti. Keren abis...

Sebelum memotret di dalam air, selama di kapal (menuju Phi phi island) saya mencoba dulu motret di darat. Tidak buruk, tapi tidak istimewa juga. Sama seperti sodara sodara olympus yang lain, gambar tajam, warna bagus, tapi respon agak lambat. Mengenai "menjatuhkan kamera" dari ketinggian 1,5meter, saya tidak melakukannya. Maklum barang pinjeman, walaupun kameranya tidak rusak, tapi kalo lecet 'kan mesti ganti juga. Ogah ah. he he he...

Setelah tiba di Maya bay, itu Olympus akhirnya berenang juga. Mantab... motret dalam air laut tidak takut kamera rusak. Padahal biasanya kalo ke pantai, hati ini selalu was was. Kamera ogut ke-asinan ga ya? Sebenarnya kalo cuma ke pantai kan nggak berenang, cuma kena udara laut doang ketakutan... Maklum, saya pernah disodorin kamera yang almarhum karena kena air laut. Menyedihkan sekali deh...

Waktu mau motret di dalam air, saya set kamera di program yang khusus untuk motret dalam air. Jadi saya ga perlu repot ngurus white balance, kompensasi cahaya, dll. Asyik juga.
Tapi setelah nyemplung beneran, baru deh satu per satu masalah pada keluar. Ini resiko nya kalo mau coba coba, tapi ga kenal medan. Cerita nya mau nyelem (skin diving), udah pakai baju pelampung, snorkle, google, dan fin, tapi ga punya ilmu nyelam yang memadai. Akhirnya sia sia deh. Pakai google kelama-an, kepala tertekan, akhirnya pusing (atau mungkin masuk angin kali ya, semalam kurang tidur jalan jalan di Bangla, pagi di kapal kena angin, he he he bela diri...). Nyali akhirnya ciut. Ga berani nyelem sampe dasar, walau cuma 2meter-an. Akhirnya cuma ngambang ngambang aja di permukaan. he he he tengsin deh...

Kita berenang bareng sama ikan ikan. Jadi obyek foto kita saat ini pasti ikan yang berenang. He he he, ngga gampang bung! Itu ikan berenang kesana kesini, kamera kita ngikutin arah ikan berenang, alhasil fokus nya ga dapet dapet. Brengsek! Sorry, bukan kamera nya yang jelek, tapi memang saya yang ga becus motret dalam air. Jangan kan motret, ngurus diri sendiri aja jantung masih mpot mpot an. Laen kali kayaknya mesti belajar dulu menyelam yang bener. Laut tidak sama dengan kolam renang, sobat!

Untuk mempermudah fokus, akhirnya lensa saya set di sudut lebar. Mujarab! Fokus jadi lebih mudah. Tapi foto ikannya jadi kecil kecil. Ada ikan yang memang dekat sekali dengan kita, baru bisa terlihat besar. Foto nya tetap tidak bagus, sebab serombongan ikan yang ukurannya nyaris sama, di foto terlihat sangat berbeda ukurannya, sebab dengan lensa wide, perspektifnya jadi jomplang.

Setelah naik ke darat, sesuai petunjuk perawatan yang dianjurkan, kamera saya bilas dengan air tawar, lalu di lap pakai handuk hingga kering. Aman... saya fikir. Tidak lama baterai pun habis. Padahal motretnya ga banyak, tapi baterainya cepat habis. Artinya itu kamera boros energi ya?! Terpaksa pemotretan pakai Mju720 dihentikan. Ceritanya selesai? Belum!

Malam hari, setelah tiba di hotel, saya periksa lagi itu kamera Olympus, sekalian review hasil pemotretan tadi siang. Ketika saya periksa lensa, saya cukup kaget, ternyata ada sisa air yang membekas di lensa berbentuk bercak. Saya coba bersihkan dengan kapas, dan air putih. Cilaka, ga bisa dihapus. Kayaknya bercak itu paten. Wah, kebayang deh mesti gantiin itu kamera. Padahal secara keseluruhan, setelah nyoba, saya merasa nggak cocok sama kamera itu. Nasib...
Jurus terakhir! Keluarkan Lens Cleaning Set! Saya bersihkan lensa dengan alkohol dan kapas. Aduh, untunglah bercaknya hilang. Dan kamera tidak ada masalah apa apa. Segera deh kamera disimpan, dan tidak dipakai lagi. Setelah pulang, segera kamera saya kembalikan kepada yang berwenang. Terima kasih ya bos....

Thursday, March 1, 2007

Kodak V570 yang Dua Lensa


Sebenarnya aneh juga sih pertama kali melihat Kodak V570 yang punya dua lensa. Dan rasanya koq pemborosan amat? Tapi setelah menyimak alasannya kodak membuat kamera dengan 2 lensa tersebut, saya malah kagum dengan kamera tersebut. Ya kagum, karena saya menilai, untuk sebuah kualitas gambar, kodak tidak mengenal kata kompromi, walau tindakannya dianggap tidak biasa. Satu kamera, dengan dua lensa. ( Kasus ini jangan disamakan dengan kamera jaman dulu rollei, karena kasusnya tidak sama)
Oke, Kodak menanamkan 2 lensa pada V570 itu dengan alasan agar didapat sudut lensa yang sangat lebar, yaitu 23mm, dan tidak meninggalkan selera konsumen fotografi kita, yaitu lensa zoom. Untuk mendapatkan fasilitas zoom, dengan sudut lensa yang sangat lebar itu, mungkin Kodak berhadapan dengan buah simalakama. Apakah kualitas dipertahankan, tetapi lensa tidak bisa mencapai 23mm, atau bisa mencapai lensa lebar 23mm, tapi lensa itu bukan lensa zoom. Dan akhirnya Kodak menanamkan kedua lensa itu sekaligus. Hebat!
Memang baru kali ini saya menemukan kamera poket dengan lensa yang sangat lebar, 23mm. Saat itu kebanyakan lensa lebar hanya 35mm, atau paling banter 28mm. Jadi dengan fasilitas lensa seperti ini, Kodak sempat menawan hati saya. Maklum, saya memang suka dengan lensa lebar.
Dalam pemakaian, body nya yang terasa kokoh, karena bahannya metal, tapi sayang dipegangnya agak licin, dan kurang ergonomis. Dimensi kamera cukup tipis, tapi sayang agak memanjang.
Ketika kita mengatur tombol zoom ke 23mm, maka lensa 23mm fix itu yang bekerja, sedangkan lensa yang satunya (lensa zoom) dimatikan. Sebaliknya jika kita menarik tombol zoom itu ke tele, maka lensa zoom yang digunakan, dan lensa fix nya mati. Untuk konsumen awam, mungkin pemindahan lensa itu tidak terasa, jadi seperti menggunakan kamera biasa pada umumnya.
Hasil foto bisa diandalkan, dengan warna yang baik, pengukuran cahaya yang baik, dan ketajaman yang baik pula, dan jangan lupa, lensa lebarnya itu sungguh mempesona. sayangnya, syarat saya yang pertama untuk sebuah "kamera teman sehari hari" adalah kecepatan, makanya tidak menjadi pilihan saya menggantikan LUMIX FX9. Kodak V570 ini tidak lelet, tapi belum secepat yang saya harapkan.

Wednesday, February 28, 2007

Puas dengan LUMIX FX8, Tidak dengan FX01


Setelah sekian lama saya menggunakan LUMIX FX8, kemudian saya ganti kamera dengan LUMIX FX9. Alasannya, karena FX8 saya sudah bekerja terlalu cape, daripada nanti keburu rusak, mending saya jual duluan. Kebetulan pula saya dapat FX9 dengan harga lumayan miring. Konon katanya FX9 fokus nya lebih cepat, dan baterainya lebih irit pula. Setelah coba dipakai sekitar 2 bulan, ternyata tidak terasa hal yang beda dari FX8. Dari model, fitur, dll nya tidak ada yang beda antara FX8 dengan FX9. Atau saya yang kurang peka? Kesimpulan, dengan harga yang lebih mahal, FX9 tidak lebih baik dari FX8. Maka lebih baik pilih FX8 saja, karena lebih murah.

Setelah keluar seri terbaru dari LUMIX ini, yaitu FX01, saya pun tergoda untuk memilikinya, sebab FX01 ini dilengkapi lensa yang lebih lebar, yaitu 28mm, sedang kan FX9 hanya 35mm. Saya berharap ada peningkatan fasilitas yang memang saya perlukan, seperti iso1600 yang menggiurkan. Tapi ternyata ketika saya menggunakan iso1600 itu, gambarnya kasar, noise terlalu tinggi. Alhasil, fasilitas iso1600 itu tidak pernah saya gunakan.
Kemudian ada fasilitas pengambilan gambar dengan format 16:9 ('kan biasa-nya format 4:3), saya pikir, boleh juga tuh... bisa bikin foto dengan tampilan yang agak berbeda. Lebih panjang gitu... Tapi setelah saya selidiki, ternyata membuat foto 16:9 itu hanya merupakan cropping dari foto 4:3, bukan sensor ccd nya yang ukuran 16:9. Wah, kecewa saya... Akhirnya fasilitas ini pun tidak pernah saya gunakan.
Berarti keunggulan FX01 dibanding FX9 hanya tinggal lensa nya saja yang lebih lebar. Selama ini saya melakukan pemotretan outdoor, memang memuaskan sih...
ah, kemarin saya memotret teman saya yang anaknya berulang tahun, di dalam ruangan, sehingga saya memotret menggunakan lampu kilat. Disini baru ketahuan busuknya FX01. Itu lensa FX01 yang lebar 28mm ternyata tidak diikuti dengan jangkauan lampu kilat yang melebar juga. Alhasil, ketika kita memotret dalam ruangan dengan lensa 28mm, maka pinggiran foto kita akan gelap, karena tidak terjangkau lampu kilat (lihat foto ulang tahun terlampir!).
Ah, saat ini saya lagi sebel sama LUMIX kesukaan saya ini. Pikir pikir, yang paling baik cuma LUMIX FX8. Semoga LUMIX segera sadar akan kekurangan kamera nya, atau saya akan berpaling dari LUMIX.

Spectra Vertex 825 buat Motret Produk


Enggak terasa, hari ini sudah Tanggal 28 lagi!...
Seperti biasa, tiap tanggal 28 ada Workshop Studio Digital bersama TitanFOTO. Kali ini topik yang dibahas adalah pemotretan produk menggunakan Continues Light. Aha, ini saat yang baik untuk mencoba kamera poket dipakai dalam pemotretan produk. Mesti-nya sih bisa bagus, yang penting ada fasilitas makro nya di fokus.
Pilihan saya pun akhirnya jatuh pada kamera digital Spectra Vertex 825. Kamera ini punya fasilitas pencahayaan manual, dan fokus makro. Itu yang saya pentingkan.
Setelah mencoba motret makanan, jam tangan, dan pensil warna, ternyata hasilnya sangat mengagumkan. Enggak nyangka deh... Tingkat ketajaman yang tinggi, dan dibarengi warna warna yang bagus.
Tapi bukan berarti tidak ada kelemahan lho... Itu auto white ballance nya suka semau gue... sehingga untuk moment pemotretan yang sama, warnanya suka berubah rubah, kadang semu hijau, kadang netral. Jadi mau ga mau deh, saya set white ballance nya di manual.

Foto Studio pakai Samsung A403

Semula saya ragu jika harus memotret di studio menggunakan kamera poket. Apalagi kamera poket tersebut masuk dalam kelas menengah ke bawah, seperti Samsung A403 ini. Tapi ga ada salahnya toh jika mencoba. Bagus ya syukur... Jelek ya udah.

Tgl. 28 Juni 2006, saatnya TitanFOTO rutin mengadakan Workshop Foto Studio bulanan (di Bandung Trade Centre), saya tenteng itu Samsung A403 ke Workshop, dan kebetulan bulan itu topik yang sedang dibahas adalah pemotretan model. Ya akhirnya, dengan dilengkapi 4 unit lampu studio kelas murah juga (evo-jumbo 100watt second), saya nekad ikut melakukan pemotretan di studio. Ga kepalang tanggung, yang menjadi model dalam eksperimen kali ini adalah seorang model yang cantik, dan sexy (terima kasih untuk Silvy, laen kali difoto lagi ya...).
Saya setting lampu kilat di kamera agar selalu nyala, maksudnya buat mancing lampu studio biar ikutan nyala. Selain itu, saya tidak melakukan setting pencahayaan khusus pada A403 tersebut, lha wong itu Samsung A403 'ga bisa di setting ini itu untuk pencahayaan. Dengan kata lain, pemotretan dilakukan dengan automatic, gimana maunya kamera.
Kesulitan yang saya temui (dan hingga saat ini belum ditemukan cara menanggulangi-nya), itu lampu studio kadang bisa sinkron dengan kamera, dan kadang tidak sinkron. Jadi sebagian foto bisa tercahayai dengan bagus, dan sebagian lagi malah gelap.

Untuk masalah fokus, karena Samsung A403 ini termasuk kamera fix fokus, dan lensanya cukup lebar, jadi saya menghindari pemotretan close up. Saya upayakan pengambilan foto seluruh badan dengan jarak sekitar 2 meter, walau resiko-nya latar belakang yang berantakan ikut kefoto juga. Tapi ga apa apa, nanti latar belakang yang berantakan itu bisa dirapihkan di photoshop.